BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Antropologi
berasal dari bahasa Yunani Anthropos yang berarti manusia dan Logos
yang berarti wacana (dalam pengertian "bernalar",
"berakal").Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta
untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.Terlepas dari jenis
penelitian tentang Antropologi maka harus memperoleh banyak informasi tentang
pendekatan Antropologi baik secara umum atau khusus yang digunakan dalam ilmu
social. Fungsi dari pendekatan ini adalah untuk mengetahui peistiwa-peristiwa
yang dialami oleh manusia, yang menyangkut kajian tentang satu hal atau lebih
secara intensif. Data yang dikumpulkan dapat diperoleh dengan berbagai cara.
Pendekatan antropologi ini di samping digunakan dalam penelitian ilmu social,
juga dapat memberikan kesimpulan yang berlaku untuk umum.
Pendekatan dan
teori-teori yang digunakan dalam Antropologi tidak sama. Terdapat beberapa
pendekatan dan teori yang berbeda dari para Antropolog. Itulah sebabnya makalah
ini ditulis untuk mengetahui bagaimana pendekatan dan teori-teori Antropologi
tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
paradigma antropologi?
2. Apa
saja teori-teori yang ada di antropologi?
C.
Tujuan
Adapun tujuan yang ingin di capai dalam pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Memenuhi tugas yang diberikan pada
mata kuliah Antropologi
2. Mengetahui paradigma antropologi
3. Mengetahui teori antropologi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Paradigma
Antropologi
Dalam upaya membangun suatu pemahaman ilmiah mengenai pengalaman manusia
yang komprehensif dan progresif antropologi menyandang dua tugas. Pertama,
mengonstruksi paradigma yang bermakna dan produktif yang mampu menjelaskan
fenomena manusia yang signifikan. Kedua, mempertajam paradigma tersebut dengan
kritis dan kompratif. Perbandingan paradigma-paradigma tidak mendorong kita
untuk memilih paradigma, sedangkan paradigma tertentu mungkin akan digantikan
oleh paradigma lain dengan landasan pertimbangan tertentu. Akhirnya sasaran
kajian antropologi adalah untuk mengembangkan paradigma secara lebih tajam
daripada paradigma sebelumnya untuk menjelakan kondisi manusia. Barangkali,
tidak akan ada paradigma yang terbaik, yang terpenting kita catat bahwa suatu
paradigma mungkin lebih baik daripada pardigma lain, tetapi tidak ada paradigma
yang dapat menganalisis semua kemungkinan.
Dalam sejarah perkembangan antropologi diwarnai oleh divegensi teori yang
semakin meningkat, dan pola tesebut nampaknya terus berlangsung. Tidak ada
kesepakatan tentang berapa jumlah paradigma dalam antropologi masa kini.
Berikut adalah beberapa contoh paradigma antropologi (Achmad fedyani
2005: 63-66).
a.
Evolusionisme klasik
Paradigma ini berkembang pada kahir abad ke-19 tatkala disiplin ilmu paradigma
ini untuk pertama kalinya menemukan identitasnya yang jelas. Evolusionisme
klasik – khususnya Lewis Henry Morgan (1977) dan Edward B. Tylor (1871)
berupaya menelusuri perkembangan kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul
primitf, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling kompleks (yakni, pada
masa peradaban Barat abad ke-19). Paradigma ini mengalami kendala karena
mengandalkan data tangan kedua, suatu etnosentrisme implicit, dan kecenderungan
menghasilkan teori-teori yang spekulatif dan tidak bias diuji. Akan tetapi,
evolusionisme klasik memiliki andil besar bagi pengembangan metode komparatif,
yang terbukti merupakan kontribusi amat penting bagi antropologi.
b.
Difusionisme
Populer khususnya di Inggris dan Jerman pada awal
abad kedua puluh, paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman diantara
bebagai kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak
kebudayaan. Difusi adalah proses historis dari perubahan kebudayaan melalui
transmisi lintas-budaya dari objek-objek materi dan perilaku dan keyakinan yang
dipelajari. Difusionis Erofa terkemuka adalah Fritz Graebner (1911) dan Wilhelm
Schmidt (1939). Di Amerika Serikat, paradigma ini mengekspresikan dirinya
melalui konsep “daerah kebudayaan” dan tampak secara mencolok dalam karya Clark
Wissler (1917) dan Alfred Kroeber (1939). Namun, semenjak pertengahan abad
ke-20 difusionisme tak lagi memiliki pendukung yang signifikan.
c.
Partikularisme Historis
Paradigma yang dibangun oleh bapak antropologi Amerika, Franz Boas
(1963(1911)) ini terutama memusatkan perhatian pada pengumpulan data
etnogafi dan deskripsi mengenai kebudayaan tertentu. Partikularisme historis
menolak teori-teori evolusionis klasik yang terkadang spekulatif, akan tetapi
sebaliknya memperjuangkan upaya mengidentifikasi proses-proses historis yang
bertanggung jawab bagi perkembangan kebudayaan-kebudayaan tertentu.
Partikularisme historis menekankan pentingnya penelitian lapangan tangan
pertama yang lengkap dan ekstensif yang bertujuan membangun catatan yang selengkap
dan seakurat mungkin mengenai kehidupan suatu masyarakat asli. Partikularisme
sejarah meninggalkan jejak yang mendalam dalam antropologi Amerika serikat.
Namun, tidak ada penelitian antropologi masa kini yang mengikuti saran-saran
paradigma tersebut; arti penting paradigma ini secara eksklusif adalah
historis.
d.
Struktural-Fungsionalisme
Paradigma ini dikembangkan terutama di Inggris, khususnya oleh A. R.
Radcliffe-Brown (1952) dan B. Malinowski (1922). Prinsip yang melandasi
paradigma ini adalah analogi biologi: Struktural-fungsionalisme berasumsi bahwa
komponen-komponen system sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu
organisme, befungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan system. Di
Amerika Serikat, paradigma ini menimbulkan dampak terbesar terhadap kalangan
sosiolog, dimana Talcott Parsons (1937) adalah salah satu tokoh yang
terpenting. Paradigma structural-fungsionalisme secara utuh hanya mengilhami
sedikit, itu pun kalau masih ada, penelitian antropologi masa kini, akan tetapi
bagaimana pun konsep fungsi selalu tersirat dalam semua teori antropologi
mengenai struktur masyarakat.
e.
Antropologi Pisikologi
Pertama kali dibangun di Amerika Serikat pada tahun 1920-an, pada mulanya
disebut “kebudayaan dan kepribadian”. Antropologi psikologi mengekspresikan
dirinya kedalam tiga hal besar : hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat
manusia, hubungan antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara
kebudayaan dan kepribadian khas masyarakat. Penelitian dalam antropologi
psikologi terutama terletak pada konsep-konsep dan teknik-teknik yang
dikembangkan dalam psikologi. Kedua tokoh kunci dalam sejarah paradigma ini
adalah Margaret Mead (1928) dan Ruth Benedict (1934). Paradigma ini masih cukup
berpengaruh hingga pertengahan tahun 1980-an, tetapi kemudian surut setelah
itu.
f.
Strukturalisme
Paradigma ini dibangun oleh ahli antropologi Perancis Claude Levi-Strauss
(1963;1976). Strukturalisme adalah strategi penelitian untuk mengungkapkan
struktur pikiran manusia-yakni, struktur dari poses pikiran manusia-yang oleh
kaum strukturalis dipandang sama secara lintas budaya. Strukturalisme berasumsi
bahwa pikiran manusia senantiasa distrukturkan menurut oposisi binari, dan kaum
strukturalis mengklaim bahwa oposisi-oposisi tersebut tercermin dalam berbagai
variasi fenomena kebudayaan, termasuk bahasa, mitologi, kekerabatan, dan
makanan.
g.
Materalisme Dialektik
Prinsip-prinsip teoritis mendasar
dari paradigma ini pertama kali diartikulasikan oleh Karl Marx lebih dari
seabab yang lalu. Materalisme dialetik berupaya menjelaskan alasan-alasan
terjadinya perubahan dan perkembangan system sosial budaya. Para pendukung
paradigma ini berpendapat bahwa suatu struktur dan ideology suatu masyarakat
ditentukan oleh mode produksi dan yakin bahwa masyarakat kapitalis memiliki
benih-benih destruksinya sendiri dalam “kontradiksi” yang melekat antara
keinginan akan keuntungan dan kebutuhan untuk mengeksploitasi tenaga kerja.
Banyak antropolog masa kini diilhami oleh paradigma ini, termasuk misalnya
Marshall Sahlins (1976). Salah satu kritik yang penting dan dikonsepsikan
dengan baik terhadap paradigma ini adalah dari Marvin Harris (1979:141-164).
h.
Cultural Materialisme
Paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan pebedaan
sosial budaya. Formulasi paling awal, sebagaimana dikembangkan oleh Leslie
White (1949; 1959) dan Julian Steward (1955), dikenal sebagai “neo-evolusionisme”
atau “ekologi budaya”; kini paradigma tersebut paling dekat dengan karya Marvin
Harris (1979). Materialis kebudayaan mengemukakan bahwa mode produksi dan
reproduksi masyarakat menentukan struktur sosial dan suprastruktur ideology,
tapi materialis kebudayaan menolak bahwa konsep metafisika dari dialektika
Hegel yang merupakan bagian dari materialism dialetik. Paradigma ini masih kuat
pengaruhnya dalam antropologi, khususnya di Amerika.
i.
Etnosains
Paradigma ini juga disebut “antropologi kognitif ” atau “etnografi baru”.
Paradigma ini dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1950-an dan 1960-an
sebagai strategi penelitian untuk mengidentifikasi aturan-aturan kebudayaan
yang implisit yang melandasi perilaku. Perspektif teoritis mendasar dari paradigma
tersebut terkandung dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan
komponen kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiri
untuk melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis.
j.
Antropologi Simbolik
Paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan pencari
makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia secara
individual, dan kelompok-kelompok kebudayan dari manusia, memberikan makna
kepada kehidupannya. Juga disebut “antropologi interpretif ”, paradigma ini
berpengaruh besar dalam antropologi hingga kini.
k.
Sosiobilogi
Paradigma ini dipandang sebagai “reduksionisme biologi” oleh kebanyakan
antropolog sosial budaya, tak banyak biolog yang menaruh minat menggunakan
pendekatan ini. Dikembangkan oleh seorang ahli biologi, Edward Wilson yang
berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolosi biologi terhadap fenomena sosial
dan menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak prilaku
kebudayaan.
B.
Teori-teori
Antropologi
a.
Teori
Evolusi Kebudayaan
1.
Edward
Burnett Tylor
Menurut
Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kesenian, kepercayaan,moral, hukum,adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
2.
Lewis
Henry Morgan
Menurut
Morgan, sebagaimana yang dikemukakanya dalam buku yang ditulis tahun 1877
tersebut,semua bangsa didunia telah menyelesaikan proses evolusinya yang
melalui lima tingkatan, yaitu :
1. Era
liar tua atau zaman paling awal sampai manusia menemukan api.
2. Era
liar madya atau sejak menemukan api sampai manusia menemukan senjata.
3. Era
liar muda atau sejak menemukan senjata sampai pandai membuat tembikar dan masih
berprofesi sebagai pemburu.
4. Era
barbar tua atau zaman sampai manusia mulai beternak dan bercocok taman.
5. Era
barbar madya atau zaman sampai manusia pandai membuat peralatan dari logam, era
barbar muda atau zaman sampai manusia mengenal tulisan,era peradaban purba, dan
era masa kini.
3.
Childe
Bahwa keseluruhan pola
perubahan yang terjadi dalam setiap fase perkembangan kebudayaan manusia
menunjukkan perubahan yang bersifat evolusi dan progresif.
b.
Teori
Difusi Kebudayaan
1.
Franz
Boas
Unsur-unsur persamaan
yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat untuk
kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua istilah
yang dikemukakan di atas.dengan cara seperti ini maka akan diketahui
unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam bergam kebudayaan manusia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang
mengambil fokus pada studi tentang manusia dan perilaku kebudayaannya. Sebagai
disiplin baru yang muncul pada paruh kedua abad ke 20, antropologi menggelar
studinya untuk menguak manusia berikut periaku social budayanya sejak awal mula
muncul di muka bumi hingga pernik budaya manusia di masa kini. Karenanya,
studi-studi antropologi sangat lekat dengan kerja-kerja riset terhadap
situs-situs budaya dan penelitian berbasis riset lapang. Karena itulah kerja antroologi
sering dilekatkan dengan riset-riset etnografi.
Istilah antropologi berasal dari bahasa Yunani, yakni
dari kata-kata “Antropos” yang berarti manusia dan logos berarti ilmu. Secara
harafiah antropologi berarti ilmu atau studi tentang manusia antropologi
mempelajari manusia sebagai manusia bologis, dan sebagai makhluk sosial.
B.
Saran
Dalam
penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa apa yang kami tulis masih banyak
terjadi kesalahan-kesalahan, baik dari segi isi (materi) dan sistematika
penulisan. Oleh karena itu, penulis meminta sumbangsi saran dan pemikiran yang
sifatnya membangun, demi kesempurnaan makalah ini, sehingga menjadi suatu bahan
bacaan yang dapat bermanfaat untuk setiap orang yang membacanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Suminar,Tri.2012.Handout Antropologi.
Antropologi/Paradigma Antropologi _mashadimilanisti.htm
di unduh tanggal 16 November 2014
ANTROPOLOGI/Rierry's Dimension Paradigma antropologi.htm di unduh tanggal 16
November 2014
ANTROPOLOGI/lay Ra teori teori antropologi.htm di unduh tanggal
16 November 2014
ANTROPOLOGI/Paradigma Antropologi.htm di
unduh tanggal 16 November 2014
0 komentar:
Posting Komentar